Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825 – 1830) adalah perang besar dan telah menarik minat para peneliti baik peneliti Indonesia maupun peneliti asing, dan dari berbagai latar belang keahlian (sejarah, politik, antropologi dan militer) untuk mempelajari Perang Jawa. Sayangnya para peneliti kurang mengungkap secara mendalam riwayat Muslim Muhammad Chalifah atau Kyai Modjo, panglima utama Perang Jawa.
Sejarah Perang Jawa tidak bisa lepas dari peranan Kyai Modjo yang dengan penuh keikhlasan bersama ulama dan santri berperang mendukung Pangeran Diponegoro melawan kolonial Belanda. Terlihat di dalam berbagai usaha dan aktifitas perjuangan dalam membangkitkan semangat perjuangan jihad fisabilillah melawan kolonial Belanda. Dalam sejarah Perang Jawa terbentang fakta-fakta yang membuktikan bahwa Kyai Modjo adalah patriot yang berperan penting bahu - membahu dengan para ulama dan santri untuk melawan penjajah. Malahan Kyai Modjo tersebut menyandang tiga peran sekaligus di masa Perang Jawa, yaitu sebagai penasehat agama islam yang memberi ciri perang sabil dalam membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan, sebagai panglima perang yang aktif di medan tempur guna membangkitkan semangat juang, dan sebagai pelaku politik yang melibatkan secara langsung dalam kegiatan-kegiatan perundingan dengan Belanda, sehingga Kyai Modjo mempunyai peran yang besar dalam Perang Jawa. Kyai Modjo adalah ulama besar yang turut andil dalam merintis kemerdekaan RI, adalah ulama yang dekat dan patuh pada ajaran agama islam, merupakan pejuang yang matang sebagaimana tercermin dalam sikap perjuangan dan perjalanan hidupnya.
Riwayat singkat Kyai Modjo ini ditulis sekedar untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali bahwa generasi Jawa Tondano (Jaton) yang telah beranak pinak hingga lebih dari 7 generasi dewasa ini adalah bermula dari peristiwa diasingkannya tokoh heroik dan kharismatik Kyai Modjo ke Tondano. Tanpa Kyai Modjo tidak pernah ada komunitas Jaton. Bahwa pengenalan kita pada sejarah Kampung Jaton masa lampau dengan sendirinya akan memberikan gambaran masa depan, dan sekaligus membimbing upaya kita agar warga anak keturunan (trah) Kampung Jaton menuju ke arah yang lebih baik, maju dan berkualitas. Masa lampau, masa sekarang dan masa depan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Tulisan ini tidak membahas mengenai jalannya Perang Jawa secara panjang lebar, tetapi lebih kepada riwayat keluarga dan tujuan perjuangan Kyai Modjo dan faktor-faktor yang melatar belakangi sehingga Kyai Modjo terlibat dalam Perang Jawa, posisi politiknya dalam hubungannya dengan tujuan perjuangan Pangeran Diponegoro, serta ekses yang ditimbulkan oleh perang tersebut. Ekses Perang Jawa tesebut telah berakibat diasingkannya Kiay Modjo beserta sekitar 70 orang pengikut, semua laki-laki, ke Tondano di Minahasa - Sulawesi Utara pada tahun 1830. Dalam pengasingan mereka melakukan kawin mawin dengan wanita penduduk lokal Tondano dan membentuk komunitas baru yang melahirkan komunitas Kampung Jawa Tondano, selanjutnya disingkat Kampung Jaton. Saat ini warga Kampung Jaton telah beranak pinak hingga lebih dari 7 generasi dan sudah tersebar di seluruh Indonesia dan juga manca negara.
Kyai Modjo adalah ulama besar yang turut andil dalam merintis kemerdekaan RI, ulama yang dekat dan patuh pada ajaran Agama Islam, merupakan pejuang yang matang sebagaimana tercermin dalam sikap perjuangan dan perjalanan hidupnya. Siapapun yang menulis tentang sejarah Perang Jawa pasti akan mengakui peran Kyai Modjo.
Sebutan “Kyai” menurut bahasa adalah gelar kehormatan untuk alim ulama. Pada abad 17, selain berilmu seorang kyai adalah pendiri atau memiliki sebuah pesantren dan menjadi pimpinan pesantren tersebut. Maju mundurnya pertumbuhan dan perkembangan sebuah pesantren tergantung kemampuan sang kyai dalam mengelola Pesantren. Namun dalam budaya jawa gelar kyai diberikan juga untuk benda yang dianggap keramat, umpamanya “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta.
Sedangkan Pesantren merupakan lembaga dakwah dalam bidang pendidikan ilmu agama, umumnya dengan cara tradisional, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Ada lima elemen bagi lembaga pendidikan tradisional atau yang disebut pesantren yaitu adanya pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kyai.