Perkembangan agama islam di jawa sampai abad 17 dapat dikategorikan menjadi dua fase, yaitu fase walisongo dan fase mataram islam. Ciri-ciri masyarakat Islam pada fase walisongo adalah jumlah penganut agama Islam masih sedikit dan masyarakat Islam masih sangat lemah serta praktek islam masih kental dipengaruhi oleh budaya hindu dan budha. Pada fase mataram islam jumlah penganut agama islam sudah cukup banyak dan menjadi agama negara. Sultan selain sebagai kepala pemerintahan juga bertindak sebagai penata atau pemimpin agama islam (panatagama).
Praktek beragama islam sudah lebih baik dibanding fase sebelumnya. Kalau pada fase walisongo penyebaran agama islam dilakukan langsung oleh para walisongo, pada era mataram islam penyebaran islam dilakukan oleh oleh bangsawan desa yaitu kyai atau ulama keturunan hasil perkawinan antara keturunan walisongo dan keturunan raja-raja mataram. Kyai Modjo adalah salah satu bangsawan desa. Upaya yang dilakukan ulama bangsawan desa adalah memperbaiki akhlak dan aqidah, perbaikan itu meliputi kepada masyarakat yang masih mencampur adukkan antara akidah islam dan kurafat, berzinah, meminum minuman beralkohol dan lain-lain.
Namun kehadiran Belanda di Jawa pada abad 15 bertujuan untuk berdagang lama kelamaan berubah menjadi penjajah dan menjadikan tanah Jawa daerah jajahan mereka. Dan lebih mengkhawatirkan bahwa Belanda tidak sekedar mencari keuntungan dengan menguasai kekayaan sumberdaya alam (gold) tetapi juga mereka ingin berjaya selamanya (glory) menyebarkan agama Kristen (gospel). Gold berarti keinginan memperoleh kekayaan di wilayah-wilayah baru yang ditemukan. Kekayaan yang dieksploitasi dari wilayah-wilayah baru itu kemudian digunakan untuk kepentingan kerajaan/negara penjajah. Glory diartikan sebagai kejayaan atau lebih rinci lagi memperoleh wilayah jajahan untuk dikuasai melalui penjelajahan. Sedangkan gospel adalah misi agama atau misionaris. Selain untuk mendapatkan kekayaan dan kejayaan di tempat-tempat baru yang ditemukan, bangsa-bangsa imperialis juga menyebarkan agamanya di wilayah-wilayah jajahan tersebut. Akibat tekanan dari penjajahan terhadap rakyat khususnya misi gospel inilah, akhirnya Kyai Modjo beserta pengikutnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro mengangkat senjata berperang melawan Belanda.
Dalam sidang pengadilan, Kyai Modjo mengatakan "usul pertama yang membuat saya rela berperang adalah bahwa Diponegoro berjanji kepada saya untuk memulihkan agama kami. Karena percaya hal ini, saya bergabung dengan dia sepenuh hati" (CareyKuasa Ramalan, halaman 746).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar