Sabtu, 18 Maret 2023

XXXVI. KAMPUNG JAWA GORONTALO (JAGOR): DIASPORA KAMPUNG JAWA TONDANO

 Setelah Kyai Modjo mendirikan Kampung Jawa Tondano (Jaton) pada tahun 1830 maka perlahan-lahan semakin lama populasi Kampung jaton semakin banyak. Bermula tahun 1830 populasi kurang dari 100 orang maka pada taun 1900 atau 70 tahun kemudian populasi Kampung Jaton telah bertambah menjadi lebih dari 1000 orang. Luas Kampung Jaton yang tidak mungkin diperbesar karena telah dikelilingi oleh perkampungan yang penduduknya beragama Kristen telah menjadi sebab pemuka Kampung Jaton memikirkan untuk mencari lokasi pemukiman baru diluar Tondano atau Minahasa untuk tempat penghidupan generasi penerus Kampung Jaton yang terus bertambah setiap tahun. Lokasi yang diinginkan adalah area yang belum pernah ditempati manusia dan bukan milik kelompok masyarakat tertentu. Dengan lokasi tempat baru yang demikian itu diharapkan budaya Kampung Jaton dan terutama agama islam dapat terjaga dan menerus ditempat baru tersebut. Intinya hanya berpindah tempat tetapi tidak mengubah budaya dan agama.  

Maka diutus pemuka Kampung Jaton datang berkonsultasi ke pemerintah Hindia Belanda di Tondano, menyampaikan maksud dan permohonan agar dapat diberikan lahan baru diluar Tondano sebagai perluasan Kampung Jaton. Permintaan tersebut kemudian oleh pejabat pemerintah Hindia Belanda di Tondano diteruskan ke Residen Manado yang memiliki wewenang. Setelah mempertimbangkan dengan cermat akhirnya  Residen Manado memberi persetujuan dan memberi lahan pemukiman baru yang berada di lokasi berjarak sekitar 400 (empat ratus) kilometer sebelah barat Tondano. Tidak diketahui apakah lokasi yang sangat jauh dari Tondano tersebut atas permintaan pemuka Kampung Jaton atau karena penunjukan pemerintah Hindia Belanda. Namun satu informasi lain menyebutkan bahwa penunjukan lokasi pemukiman baru di Gorontalo itu berkat jasa Kamal bin Djumal bin Gazaly bin Mbah Kyai Modjo. Nama kecilnya Amal atau Apol. Pada tahun 1890-an Amal ditunjuk Belanda menjadi guru setingkat SMP di Gorontalo. Karena sering bolak-balik Tondano-Gorontalo maka Belanda menawarkan kepada Amal lahan dengan luas ratusan hektar untuk dijadikan pemukiman. Lokasi calon pemukiman baru tersebut masuk wilayah Keresidenan Manado 

Singkat cerita mulailah perpindahan sebagian warga Kampung Jaton ke wilayah yang sekarang masuk wilyah Provinsi Gorontalo. Perpindahan warga Kampung Jaton ke Gorontalo terbagi dalam 3 gelombang yaitu gelombang pertama pada sekitar tahun 1905, gelombang kedua sekitar tahun 1915 dan dan gelombang ketiga sekitar tahun 1925.

Gelombang pertama berangkat ke Gorontalo sekitar tahun 1905 hanya sekitar 5 orang, dipimpin 2 orang kakak beradik yaitu Djarot (Gudel) bin mbah Tumenggung Zes dan Rahmat bin mbah Tumenggung Zes. Mereka adalah generasi pertama yang lahir di Tondano dan saat itu berumur sekitar 60 tahun. Tujuan keberangkatan adalah melapor kepada pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo dan mempersiapkan persyaratan administrasi serta melakukan survey lapangan lokasi calon pemukiman baru. Setelah membabat hutan yang cukup lebat akhirnya ditentukanlah lokasi yang akan dijadikan pemukiman. Lokasi tersebut mereka namakan Yosonegoro.  Boleh jadi nama Yosonegoro diambil dari 2 kata yaitu Kaliyoso (Kalioso) dan Reksonegoro. Nanti kita akan lihat bahwa Kalioso adalah nama satu pemukiman di Jawa, berjarak sekitar 15 km sebelah utara kota Solo dimana Trah Kalioso memiliki kaitan erat dengan Trah Modjo-Baderan. Saat ini Kampung Yosonegoro terletak di Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Diperlukan waktu sekitar 5 tahun untuk menyiapkan lokasi Yosonegoro menjadi area pemukiman yang layak ditempati.

Sepuluh tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1915 berangkatlah gelombang kedua perpindahan keluarga Kampung Jaton ke “Kampung” Yosonegoro Gorontalo. Gelombang kedua ini berjumlah sekitar 40 orang dari 11 keluarga, dipimpin oleh Kamal (Amal/Apol) bin Gazaly bin Mbah Kyai Modjo.

Dalam gelombang kedua ini terdapat generasi kedua yang lahir di Tondano atau cucu-cucu dari pendiri Kampung Jaton. Adapun daftar keluarga yang berangkat adalah:

1. Kamal (Amal/Apol) bin Djumal bin Gazaly bin Mbah Kyai Modjo

2.   Tarekat bin Djumal bin Gazaly Modjo.

3. Makrifat bin Djumal Modjo

4.   Rahmad bin Mbah Tumenggung Zes

5.   Djarot (Gudel) bin Mbah Tumenggung Zes

6.   Burhan bin Mbah Ilyas Zes

7.   Muhtar (Tahar) bin Anwar bin Mbah Wiso Pulukadang

8.   Djali bin Tumenggolo bin Mbah Kyai Sepoh Baderan

9.   Muhidin bin Kaiden bin Mbah Rifai

10. Ilham bin Tole bin Mbah Mashanafi

11. Gelemboh bin Mbah Danupoyo

Selama 10 tahun berikutnya dari 1915 – 1925 secara sporadis ikut berdatangan lagi beberapa keluarga dari Tondano sehingga sekarang Kampung Yosonegoro menjadi cukup ramai. Semua beragama islam dengan budaya yang persis sama dengan budaya Kampung Jaton Tondano. Untuk mengantisipasi pesatnya pertumbuhan penduduk maka pemuka Kampung Yosonegoro mengupayakan mencari lokasi lain yang tidak jauh dari Kampung Yosonegoro untuk dijadikan pemukiman baru kedua. Selain pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi juga ada rencana kedatangan gelombang ketiga keluarga Kampung Jaton di Tondano untuk pindah ke Gorontalo. Gelombang ketiga ini jumlahnya cukup banyak yaitu sekitar 200 orang.  Maka ditentukanlah lokasi kedua untuk pemukiman dan diberi nama Kalioso, berjarak sekitar 7 km arah Barat-Daya dari Kampung Yosonegoro.

Diaspora gelombang ketiga perpindahan keluarga Jaton Tondano ke Gorontalo tiba  sekitar 1925. Gelombang ketiga ini berjumlah sekitar 60 KK dengan total sekitar 200 orang, dibawah pimpinan Abdul Nawas bin Abdul Hamid bin Gazaly bin Mbah Kyai Modjo. Mereka menumpang kapal Belanda “S.S Bontekoe”. Daftar 60 KK yang pindah adalah berikut (Sukeni, 2012):

1.   Abdul Nawas bin Abdul Hamid bin Gazaly bin Mbah Kyai Modjo (Ketua rombongan).

2.   Iman bin Abdul Hamid bin Gazaly bin Mbah Kyai Modjo.

3    Tawakal bin Kanzani bin Mbah Wonopati (kembali ke Tondano)

4.   Atkio (Montong) bin Kanzani bin Mbah Wonopati

5.   Meman bin Kanzani bin Mbah Wonopati.

6.   Doko bin Asaad bin Mbah Kosasi (kembali ke Tondano)

7. Taslim bin Nuradji bin Mbah Wiso Pulukadang (kembali ke Tondano)

8.   Ajik bin Anwar bin Mbah Wiso Pulukadang.

9.   Nasran bin Mujahid bin Mbah Wiso Pulukadan.

10. Azis (Adjis) bin Djohar bin Anwar bin Mbah Wiso Pulukadang

11.Abbas bin Radjab bin Djarham bin Djohar bin Anwar bin Mbah Wiso Pulukadang

12.Hamzah (Pondjak) bin Kaleb bin Umarnadi bin Mbah Reksonegoro Pulukadang

13.Ahmad Pulukadang

14.Hasyim (wang Hasyim) bin Lulu binti Mbah Assagaf (kembali ke Tondano)

15.Saekan bin Glemboh bin Mbah Danupoyo.

16.Slamet bin Taram bin Kaleb bin Mbah Hadji Ali

17.Zainal bin Taram bin Kaleb bin Mbah Hadji Ali

18.Usman Sulaiman bin Sarem Karem bin Kaleb bin Mbah Hadji Ali.

19.Abdul Hadji Ali

20. Slamet bin Saliman Kai (Slamet bin Salima binti Muhtar bin Tumenggolo bin Mbah Kyai Sepoh Baderan.

21.Da’em bin Saliman Kai (Da’em bin Salima binti Muhtar bin Tumenggolo bin Kyai Sepoh Baderan

22.Tahir bin Saliman bin Tete Kai (Tahir bin Salima binti Muhtar bin Tumenggolo bin Kyai Sepoh Baderan.

23.Ahmad bin Wasir bin Tete Kai (Istri: Sarinah binti Meman Wonopati, putri dari no.5)

24.Sabdan bin Wasir bin Tete Kai (Istri: Djariah binti Kangiden bin Kaleb bin Mbah Haji Ali).

25.Bukhari KaI (Istri: Wolo binti Kandar Melangi, putri dari no.31).

26.Djasmadi bin Husein bin Mbah Maspeke.

27.Saman bin Sagaf Asmudrono bin Alwiah binti Umarnadi bin Reksonegoro Pulukadang.

28.Salim bin Saman Asmudrono (Salim bin Mustika binti Nurhamid bin Mbah Kyai Mardjo).

29.Sami’un Asmudrono

30.Salim bin Bejo bin Awaludin bin Mbah Tumenggung Mayang.

31.Kandar bin Djuweni bin Mondosari bin Mbah Melangi.

32.Saleh Kaunang. Usman suami dari Kuneng binti Djuweni bin Mondosari bin Mbah Melangi.

33.Djafar bin Sunet bin Mbah Djahuno

34.Kadon bin Waridin bin Mbah Djahuno

35.Saleh bin Waridin bin Mbah Djahuno

36.Ahmad Djahuno

37.Asro Djahuno

38.Djaola bin Tole bin Mbah Suronoto

39. Abdurahman (Ajah) bin Djaola bin Tole bin Mbah Suronoto

40  Djamel bin Djaola bin Tole bin Mbah Suronoto

41.Djayadi bin Djaliden bin Mbah Nurkamiden

42.Esam bin Hayun bin Dalel bin Mbah Nurkamiden

43.Takem bin Menat bin Djungkut bin Mbah Banteng

44.Salim bin bin Menat bin Djungkut bin Mbah Banteng

45. Ardjo (Rejo) bin Djamal bin Djungkut bin Mbah Banteng

46. Taslim bin Latif bin bin Tabeb sabeth bin Mbah Rifai

47. Djunaidi (Djunae’) bin Maridjan bin Mbah Rifai

48. Yahya Rifai

49. Suleman bin Tete Tombokan (Sulaiman bin Sina binti Kaleb bin Mbah Haji Ali)

50. Sake bin Sutowijoyo bin Mbah Mertosono

51. Sambe’ bin Sake bin Sutowijoyo bin Mbah Mertosono

52. Djasmani (Manik) bin Tahir bin Tete Karinda

53.Ongken bin Tete Karinda

54.Ahmadi (Madi) bin Mas’ud bin Mbah Ilyas Zes

55.Usman bin Tete Sopran Tombuku. Usman adalah suami dari Temon binti Wasir Kai.

56.Eri H. Eksan

57.Abubakar (Tole) bin Asrap bin Mondangan bin Mbah Suratinoyo

58.Hasan bin Abubakar (Tole) Suratinoyo

59.Salim Suratinoyo

60.Slamet (Najiden) Suratinoyo

 Masih pada tahun 1925, tidak lama setelah kedatangan gelombang ketiga, Amal Modjo dkk membuk pemukiman baru lagi berjarak sekitar 10 km sebelah Barat Kampung Yosonegoro. Kampung yang baru didirikan ini diberi nama Reksonegoro. Saat ini batas Utara Kampung Reksonegoro persis berbatasan dengan Bandar Udara Djaludin Gorontalo. Sejak 1925 diaspora warga Kampung Jaton di Gorontalo telah mempunyai 3 kampung yaitu Yosonegoro, Kalioso dan Reksonegoro

 

Tidak ada komentar: