Sabtu, 18 Maret 2023

XXXI. SIKAP PARA KETUA ADAT (WALAK) MINAHASA ATAS KEHADIRAN KYAI MODJO DI TONDANO

Pada tahun-tahun awal kedatangan rombongan Kyai Modjo di Tondano, mereka mendapat perhatian dari ketua-ketua suku Minahasa. Awalnya para ketua walak menaruh kecurigaan dan kekhawatiran atas kehadiran rombongan Kyai Modjo. Mereka mendengar bahwa Kyai orang-orang jawa pendatang itu adalah pemberontak. Para ketua walak khawatir orang-orang jawa tsb akan bikin kerusuhan dan keonaran di Tondano. Namun prasangka mereka meleset setelah mengamati ternyata Kyai Modjo dan pengikutnya semua orang-orang yang baik, sopan, pekerja keras dan ahli dalam pertanian. Akhirnya para kepala walak menaruh simpati dan bersedia menerima Kyai Modjo dengan tangan terbuka. Bahkan tidak lama setelah itu para ketua walak dengan senang hati mengawinkan anak-anak gadis mereka dengan pengikut Kyai Modjo. Berikut adalah dialog antar kepala walak (disadur dari Wijaya Al Katuuk, halaman 27 - 29):

Dalam sebuah pertemuan dialogis antar-walak yang wilayahnya langsung berbatasan dengan permukiman Kiai Mojo dan rumbongannya dibahas bagaimana merespons kehadiran mereka. Hadir saat itu dua petinggi Tanah Minahasa, Opo Sokomen, Kepala Walak Tonsea dan Opo Tombokan, Kepala Walak Tondano. Setelah membahas ikhwal situasi terakhir kawasan, mereka membincangkan keberadaan rombongan Kiai Mojo terkait dengan sikap kompeni Belanda yang datang di Minahasa yang saat itu hendak mengonfirmasi penerimaan mereka. Dialog antara Kepala Walak Tonsea yang bernama Opo Sokomen dan Kepala Walak Tondano, yakni Opo Tombokan tersebut untuk menentukan pilihan. Apakah sepenuhnya percaya kepada pihak Belanda, yakni menganggap Kiai Mojo dan rombongannya sebagai orang bersalah dalam arti negatif atau bukan seperti itu, atau mereka harus mengawasi dan membatasi, serta memperlakukan para tamu tersebut secara lain?

Sehari sebelum mereka dipanggil Belanda, maka hari tersebut mereka akan melakukan konfirmasi. Sebenarnya, bagi Kepala Walak Tondano sudah tidak begitu asing, sebab sudah sempat bertemu sebelumnya dan melakukan dialog, serta menyaksikan beberapa perilaku dan kegiatan mereka. Percakapan tersebut berlangsung di sebuah bebukitan pada saat komunitas Kiai Mojo tengah bergiat menggarap lahan.

Kepala Walak Tonsea, Opo Sokomen, memulai pembahasan dengan bertanya, “Inikah mereka itu, orang Jawa yang dibilang oleh Belanda kepada kita sebagai orang buangan karena melawan dan memberontak?”

 Opo Tombokan menjawab, “Ya, mereka berontak kepada Belanda, tetapi "tidak" terhadap kita, kan?” sergahnya dengan nada penuh penegasan dan pertanyaan. Terlihat Opo Sokomen mencamkan sejenak. Jadi, jawabannya jelas, yakni mengiyakan dalam diam. Opo Tombokan pun melanjutkan pendapat berdasarkan pengamatannya, “Lihat saja adat mereka! Mereka adalah orang yang baik-baik, ternyata.” Kembali jawaban Opo Sokomen adalah dengan bahasa tubuh semata. Dia menarik napas panjang, kemudian diikuti dengan mengangguk-anggukkan kepala dengan serius dan jujur.

Opo Tombokan pun dengan bersemangat melanjutkan pendapat yang didasarkan dari kenyataan yang telah diamatinya. “Silakan perhatikan! Mereka yang muda-muda itu sangat hormat dan turut semua nasihat orang tua-tua. Mereka menggunakan bahasa dan gerakan badan yang berbeda dengan cara para pemimpin mereka,” ujar OpoTombokan menerangkan.

“Mungkin juga karena orang tua mereka mengajari hal tersebut sebagai bagian dari adat mereka. Orang-orang muda selalu memberi hormat terhadap mereka yang lebih tua,” ungkap Opo Sokomen menduga.

“Memang nampaknya demikian,” jawab Opo Tomboken seraya melanjutkan kesimpulannya.

“Begitu pun orang yang lebih tua, yang menjadi pemimpin mereka. Cara bertutur dan bertindaknya pun berbeda. Maka dari itu, menurut pemahaman saya, mereka adalah kelompok orang yang baik. Mereka memiliki adat istiadat yang kuat dan dengan ketat mereka terapkan,” tandasnya. “Nampaknya memang demikian. Saya juga, sependapat,” jawabnya.

Mendapatkan tanggapan yang mendukung pemahamannya, maka Opo Tombokan mengemukakan pendapatnya lebih maju lagi. Kali ini mengenai pemahaman dan sikap yang dipikirkan Opo Tombokan untuk mengambil sikap terhadap Belanda dalam hal cara memperlakukan kelompok Kiai Mojo beserta rombongan pengikutnya. “Kita harus memikirkan lebih jauh. Lebih bijaksana,” sela Opo Sokomen.

“Maksud Opo, apa?” tukas Opo Tombokan dengan nada lebih sungguh-sungguh.

“Ya, kita berdua harus sadari bahwa sikap kita akan menjadi ingatan dan teladan bagi anak cucu kelak.

Kita harus mewariskan cara-cara bergaul dengan pihak lain yang baik, terutama dalam memilih sesame manusia lain. Walaupun demikian, harus kita pertimbangkan juga pihak yang kuat, dalam hal ini adalah Belanda. Mereka adalah pihak yang memerintah kita sekarang ini,” ungkap Opo Sokomen. “Maksudku, kita juga sebaiknya jangan mengambil sikap

bermusuhan dengan mereka, walau kita akan mengambil sikap baik terhadap rombongan Kiai Mojo itu,” lanjutnya mengingatkan.

“Betul. Saya setuju,” jawab Opo Tombokan sambal melanjutkan pendapatnya. “Ini pemikiran yang berlaku untuk kita saja, sebagai pemimpin walak di sini,” ungkapnya hati-hati. Ia menahan napas sejenak, melihat reaksi Opo Sokomen, kemudian melanjutkan, “Kita tidak boleh terlalu percaya kepada Belanda, bisa jadi mereka berniat mengadu-domba antara kita dengan mereka yang berasal dari daerah Jawa tersebut. Iya, kan?”

Opo Sokomen segera menjawab, “Kalau dipikirpikir, siapa juga yang mau berkelahi dengan orang-orang yang kalau kita saksikan adalah orang-orang baik. Mereka selalu bersembahyang. Sesudah itu, segera mereka ke pekerjaan masing masing,” tuturnya.

“Sesungguhnya, kita harus mengikuti contoh-contoh yang mereka sudah lakukan, terutama tentang bercocok tanam di kebun atau sawah,” simpulnya.

Opo Tombokan, “Saya merasa sangat tertarik terhadap orang-orang muda Jawa itu, terutama itu yang punya mata tajam semacam mata burung elang,” tandasnya sambil menunjuk kepada Ghazali Mojo, anak Kiai Mojo.

Opo Sokomen segera menambahkan kesan baiknya. Kali ini ia memberi contoh mengenai pemahamannya tentang sesosok anak muda lain. “Betul, itu juga yang satu lagi, pemuda Tumenggung Zees yang punya urat kawat tulang besi itu dalam segala hal sangat mengagumkan. Dia sedikit bicara, tetapi banyak bekerja!”

Tidak ada komentar: