Selasa, 21 Maret 2023

XI. KYAI MODJO DALAM PERANG JAWA

Bahwa datangnya Perang Jawa bukanlah tiba-tiba. Perang Diponegoro atau yang disebut Belanda sebagai Perang Jawa (1825 – 1830) merupakan akumulasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Belanda yang merugikan kepentingan dan kemaslahatan budaya orang jawa dan agama islam. Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda telah berdampak sangat jauh pada kekacauan ekonomi, politik, budaya dan agama Islam. Keadaan inilah yang mendorong Kyai Modjo bergabung dengan Pangeran Diponegoro.

Kyai Modjo ingin janji syariat islam di tanah jawa. Pengertian syariat islam disini adalah minimal orang-orang beragama islam diadili menurut hukum syariat islam, bukan menggunakan hukum Belanda. Menurut Kiay Modjo, ideologi untuk mendirikan suatu pemerintahan Islam ini disebutkan secara tegas ketika ia menyerah kepada Belanda pada akhir tahun 1829. Kiay modjo mengatakan bahwa tujuan utama dirinya Diponegoro adalah karena janji Pangeran Diponegoro untuk merestorasi agama Islam di Jawa.

Sistem sosial yang ingin diterapkan Kyai Modjo cukup sederhana, seperti halnya dengan sistem rohani. Pengaruh sistem ini seperti dalam menyatukan kesatuan masyarakat. Persamaan di depan Allah menjadi dasar tauhid dalam Islam, persamaan di depan undang-undang menjadi dasar sistem sosial. Budaya timur yang diperlakukan amat tidak terhormat oleh penjajah, oleh Kyai Modjo martabatnya akan diangkat menjadi terhormat. Dasar-dasar ini dan yang semacamnya dalam segala urusan masyarakat yang diatur oleh syariah, dan yang menjadi suatu sistem dalam masyarakat umat manusia secara keseluruhan. Pengaruh ini besar sekali dalam mempersatukan Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo dan sekaligus memperkuat moral mereka, yang kemudian berhasil mengobarkan perang sabil.

 

Tidak ada komentar: