II. LATAR BELAKANG KELUARGA MUSLIM MUHAMMAD CHALIFAH (KYAI MODJO)

 Kyai Modjo adalah ulama besar yang turut andil dalam merintis kemerdekaan RI, ulama yang dekat dan patuh pada ajaran Agama Islam, merupakan pejuang yang matang sebagaimana tercermin dalam sikap perjuangan dan perjalanan hidupnya. Siapapun yang menulis tentang sejarah Perang Jawa pasti akan mengakui peran Kyai Modjo.

Sebutan “Kyai” menurut bahasa adalah gelar kehormatan untuk alim ulama. Pada abad 17, selain berilmu seorang kyai adalah pendiri atau memiliki sebuah pesantren dan menjadi pimpinan pesantren tersebut. Maju mundurnya pertumbuhan dan perkembangan sebuah pesantren tergantung kemampuan sang kyai dalam mengelola Pesantren. Namun dalam budaya jawa gelar kyai diberikan juga untuk benda yang dianggap keramat, umpamanya “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta.

Sedangkan Pesantren merupakan lembaga dakwah dalam bidang pendidikan ilmu agama, umumnya dengan cara tradisional, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Ada lima elemen bagi lembaga pendidikan tradisional atau yang disebut pesantren yaitu adanya pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kyai.

Pada abad 17 di Jawa Tengah muncul elit Islam di pedesaan dan mengajarkan serta menyebarkan ajaran Islam. Mereka adalah bangsawan desa yang merupakan keturunan hasil kawin-mawin antara keturunan wali songo dan bangsawan kraton. Bangsawan desa ini memiliki pengaruh dan jaringan luas di kraton dan pedesaan. Mereka bertempat tinggal diluar kraton dan mendirikan pesantren sebagai tempat pendidikan dan penyebaran agama Islam. Santri yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya dari kalangan pedesaan tetapi juga kalangan kraton termasuk para pangeran dan menjadi tempat kaderisasi elit kraton.

Salah satu bangsawan desa adalah Kyai Khotib Iman Arif, nama lainnya Kyai Djumal Arif atau Kyai Baderan I (1764 -1820) – ayah dari Kyai Modjo. Penulisan Kyai Baderan I sekedar untuk membedakan dengan putranya yang diasingkan ke Tondano dan disana dikenal dengan panggilan Kyai Sepoh Baderan. Dalam buku ini Kyai Baderan I ditulis sebagai Kyai Baderan saja. Kyai Khotib Iman Arif adalah seorang ulama pemimpin sebuah pesantren di dusun Baderan di Jawa Tengah, dan karena itu beliau lebih terkenal dengan nama Kyai Baderan. Pangeran Diponegoro dan salah satu putranya pernah mondok di Pesantren Baderan. Adapun nasab Kyai Baderan I adalah seperti pada bagan dibawah ini.

 

Kyai Baderan diketahui menikah dengan 3 (tiga) istri dan memiliki sekitar 10 orang anak. Tiga istri Kyai Baderan tersebut adalah Nyai Ageng Baderan, Raden Ayu (RA) Mursinah (Mursilah) dan Nyai Ageng Gading. RA Mursinah adalah ibunda dari Kyai Modjo Tondano. Nasab RA Mursilah adalah RA Mursilah binti RA Mursiyah binti Sultan Hamengku Buwono (HB) II. Dengan demikian Kyai Modjo Tondano adalah cicit dari HB II (lahir 1750 dan meninggal 1828).

Kyai Baderan diperkirakan lahir pada tahun 1764 dan wafat pada tahun 1820. Makam Kyai Kotib Imam Arif (Kyai Baderan I) beserta istri RA Siti Mursinah (BRA.Martodiningrat) serta ayahnya Kyai Djumal Qorib berada di Desa Modjo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kyai Baderan hidup sesaman dengan Paku Buwono IV (1768 – 1820).