Sabtu, 18 Maret 2023

XXXII. PERNIKAHAN PENGIKUT KYAI MODJO DENGAN GADIS-GADIS LOKAL TONDANO

Kyai Modjo sadar bahwa mereka tidak mungkin lagi kembali ke jawa. Mereka akan menjalani hari-hari selanjutnya di Tondano sampai ajal menjemput. Sebagai seorang muslim yang memahami ajaran islam khususnya tentang konsep hidup yang berkelanjutan dan menebarkan rahmat bagi alam sekitar maka Kyai Modjo dan pengikutnya harus memikirkan untuk membangun keluarga dan kehidupan baru di Tondano. Untuk tujuan tersebut mereka harus menikah dengan wanita-wanita Tondano.

Sebagai “orang-orang buangan” yang tidak punya apa-apa selain iman islam dan semangat maka cara satu-satunya yang dapat memikat anak gadis dan keluarga  besarnya adalah dengan cara bekerja keras, cerdas dan visioner. Maka mulailah Kyai Modjo memimpin operasi penggalian parit-parit agar area pemukIman yang semula rawa-rawa menjadi area layak huni dan layak untuk bercocok tanam.

Di tahun-tahun awal kedatangan Kyai Modjo di Tondano adalah tahun-tahun kritis yang menentukan akan ada atau tidak generasi Kampung Jawa Tondano. Masa itu adalah tahun kerja keras, tahun bermandikan peluh dan keringat, tangan dan kaki telanjang menjadi sekop dan pacul, kayu menjadi bajak, rawa ganas diubah menjadi ladang, menanam apa yang bisa menjadi makanan.

Upaya Kyai Modjo tidak sia-sia. Berkat kerja keras dan rajin serat sopan santun yang mereka perlihatkan telah mengundang decak kagum para kepala walak Tondano dan Tonsea.  Para pendudk lokalpun ikut belajar dan mempraktekkan cara bercocok tanam yang baik agar hasil penen melimpah. Strategi kerja keras dan moralitas tinggi yang dipimpin oleh Kyai Modjo dan mengajari penduduk Tondano cara bercocok tanam yang baik ternyata telah membuat penduduk asli Tondano sangat ”wellcome”. Sikap dan achlak yang ditunjukan telah menarik perhatian penduduk asli Tondano. Bahkan para ”Lolombulan” (sebutan untuk anak gadis asli Tondano pada masa itu) tertarik untuk berkenalan dengan laki-laki ”orang-orang jawa pendatang” itu, dan terbukalah pintu gerbang perkawinan antara ”orang-orang jawa pendatang” dengan para ”lolombulan”.

Residen Menado ketika mengunjungi (Kampung Jawa) Tondano pada tahun 1831 (Ref. Surat Residen Menado ditujukan kepada Letnan Gubernur Jendral di Batavia tertanggal 18 Oktober 1831 No.235) mencatat bahwa pada tahun pertama itu telah ada perkawinan beberapa orang jawa itu dengan gadis-gadis Tondano, salah satu diantaranya adalah Sis (Tumenggung Zes Pajang mataram). Tumenggung Zes adalah putra dari Kyai Hasan Besari – adik dari Kyai Modjo), beliau menikah dengan Wurenga Rumbayan – putri Kepala Walak (opo) Tondano ; OPO SOKOMEN RUMBAYAN). Dalam bahasa Tondano ; Wurenga artinya telur.

OPO RUMBAYAN sebagai kepala walak Tondano tentunya memiliki kelebihan dalam hal kesaktian dan keberanian dalam ukuran masyarakatnya. Konon ketika Kyai Modjo datang menemui Rumbayan bermaksud melamar putrinya untuk Tumenggung Zes, Rumbayan menguji melalui ”pertarungan” persabatan untuk mengetahui ke”mandragunaan” kelelakian ”orang jawa pendatang” itu dan konon Rumbayan mengakui ”kesaktian” (bathin) Kyai Modjo Cs. Rumbayan mengabulkan lamaran Tumenggung Zes dan merelakan putrinya menjadi seorang muslimah. Tumenggung Zess adalah orang pertama dari pengikut Kyai Modjo yang menikah di Tondano.

Perkawinan pertamakali ini kemudian diikuti dengan perkawinan-perkawinan berikutnya antara kerabat Kyai Modjo dan gais-gadis Tondano sbb:

1.    Gazaly, putra Kyai Modjo. Di Tondano Gazaly menikah dengan Ringkengan Tombokan dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga MODJO.

2.    Sopingi, putra Kyai Sepoh Baderan. Di Tondano Sopingi menikah dengan putri dari keluarga Walalangi dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga BADERAN.

3.    Semangi Kyai Gading bin Kyai Baderan Senior menikah dengan putri dari keluarga Watuseke dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga Semangi. Namun keluarga Semangi tidak berkembang dan hilang karena cucu satu-satu laki-laki Kyai Gading bernama Abdul Karim Karmo bin Ismangi bin Kyai Gading, kelak menikah dengan Saptia binti Djumal bin Gazaly bin Mbah Kyai Modjo menggunakan nama keluarga MODJO.

4.    Muhammad Asnawi Raden Tumenggung (RT) Reksonegoro Kyai Pulukadang, kemenakan Kyai Modjo, menikah dengan putri dari keluarga Tumbelaka dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga PULUKADANG. Ayah sambung RT.Reksonegoro adalah Kyai Hasan Muhammad – adik Kyai Modjo. Ayah kandung adalah Pangeran Hangabehi bin Sultan Hamengku Buwono I (lihat gambar-3 & gambar-5)

5.  Wiso/Ngiso, kemenakan Kyai Modjo. Di Tondano Wiso menikah dengan Linon Pakasih-Lengkong dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga PULUKADANG. Ayah dari Wiso adalah Kyai Hasan Muhammad - adik Kyai Modjo. Wiso dan RT.Reksonegoro bersaudara seibu tetapi lain ayah (lihat gambar-3)

6.  Tumenggung Sis, kemenakan Kyai Modjo. Di Tondano Tumenggung Sis menikah 3 kali. Tumenggung Sis adalah orang pertama dari rombongan Kyai Modjo yang menikah di Tondano. Istri pertama Tumenggung Sis adalah Wurenga Rumbayan. Dua istri lainnya putri dari keluarga Mantiri-Kilapong dan Rinut binti Mbah Roto. Dari pernikahan ini menurunkan keluarga TUMENGGUNG ZES. Ayah dari Tumenggung Zes adalah Kyai Hasan Besari bin Kyai Baderan I.

7.    Ilyas, adik Tumenggung Sis. Di Tondano Ilyas menikah dengan Nenot binti Mbah Thayeb dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga ZES.

8.   Abdul Kadir (Tumenggung Urawan), di Tondano menikah dengan putri dari keluarga Wurarah dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga NGURAWAN.

9.   Brodjoyudo (Tumenggung Mayang), di Tondano menikah dengan Ani Tumbelaka dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga TUMENGGUNG MAYANG.

10.   Gozaly Kyai Dadapan (cucu Kyai Nur Iman Mlangi Yogya), di Tondano menikah dengan Rahel Tombokan dan menurunkan keluarga MELANGI. Kyai Dadapan adalah orang yang membujuk Kyai Modjo untuk berunding dengan Belanda pada November 1828 yang berakhir dengan ditangkapnya Kyai Modjo. Istri pertama Pangeran Diponegoro adalah putri Kyai Dadapan.

11.  Ali Imran (cece Kyai Nur Iman Mlangi, kemenakan Kyai Dadapan), di Tondano menikah dengan Yehia Ratulangi dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga MASLOMAN.

12.  Ahmad Fakih (cece Kyai Nur Iman Mlangi, saudara Ali Imran), di Tondano menikah dengan nona Pangalila-Wauran dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga MASPEKEH.

13.   Secopawiro (cucu Kyai Nur Iman Mlangi, putra Kyai Taptojani bin Kyai Nur Iman Mlangi), di Tondano menikah dengan Lendo Kawilarang dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga SURATINOYO. Salah satu cucunya, Rowiah binti Rateb bin mbah Suratinoyo, menikah dengan Isa Hulungo (Gorontalo) dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga ISA SURATINOYO.

14.   Kosasi (cucu Kyai Nur Iman Mlangi, sepupu Gozaly Kyai Dadapan, di Tondano  menikah dengan Inggrina Rumbayan dannona Saraun. Dari pernikahan ini menurunkan keluarga KOSASIH.

15.   Muhamad Kyai Mastari, pengikut Kyai Modjo. Di Tondano Kyai Mastari menikah dengan nona Malonda dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga MASTARI dan keluarga SARIDIN. Saridin adalah putra tunggal Kyai Mastari.

16. Ahmad Djenawie (Djounou), pengikut Kyai Modjo, di Tondano menikah dengan nona Pinangkaan-Nelwan dan dari pernikaghan ini menurunkan keluarga DJAHUNO dan keluarga WARIDIN. Waridin adalah salah satu putra mbah Djahuno.

17.  Abdul Wahab, pengikut Kyay Modjo, di Tondano menikah dengan Otik binti Mbah Haji Ali dan dari pernikahan ini Abdul Wahab hanya memperoleh 1 (satu) anak perempuan yang kemudian menikah dengan Bardani bin Mbah Masloman.

18.  Kyai Wonopati, pengikut Kyai Modjo, di Tondano menikah dengan Linon Pakasih-Lengkong dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga WONOPATI. Linon Pakasi-Lengkong ini adalah janda Wiso. Atau sebaliknya Wiso menikahi janda Kyai Wonopati.

19.  Haji Muhammad Ali menikah dengan nona Tambahani dan Kamisa binti Mbah Thayeb. Dari pernikahan ini menurunkan keluarga HAJI ALI dan keluarga KANGIDEN.

20.   Ahmad Baweh Kyai Djosari, istrinya tidak diketahui, menurunkan keluarga DJOSARI.

21. Haji Muhammad Tayeb (Mbah Thayeb) menikah dengan Rea Wenas dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga THAYEB.

22.  Hanafi, pengikut Kyai Modjo, di Tondano menikah dengan nona Maukar dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga MASHANAFI.

23.  Muhammad Ibrahim Kyai Wonggo, pengikut Kyai Modjo, di Tondano menikah dengan Nancy Mailoor dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga WONGGO dan MASWONGGO.

23.  Martam, pengikut Kyai Modjo, di Tondano menikah dengan Lunsil Pinkan Sumaraw dan dari pernikahan ini menurunkan keluarga MARTAM dan keluarga RAMLAN.

    24.   Husen, pengikuit Kyai Modjo. Di Tondano menikah dengan gadis di Papakelan dan menetap di Papakelan.             Dari perkawinan ini menurunkan keluarga KUSEN.

Kemudahan menikahi wanita-wanita Minahasa ini berlangsung hingga tahun 1835. tahun-tahun selanjutnya mulai terasa kesulitan karena zending-zending kristen sangat gencar menyebarkan agama kristen di Minahasa terutama di Tondano. Meskipun demikian komunitas kampung jawa tondano berusaha tetap menjaga persaudaraan dengan ke masyarakat sekitar dengan cara bekerja keras, jujur, bermoral, menjaga etika serta sopan santun yang baik dan lain-lain dalam kerangka hubungan kemanusiaan (hablumminnannas). Strategi ini ternyata efektif karena tahun-tahun berikutnya masih terjadi wanita tondano menikahi anggota pengikut Kyai Modjo dan masuk islam, bahkan terdapat pemuda-pemudanya yang kemudian dengan kesadaran sendiri menjadi muslim. Keturunan dari pemuda-pemuda Minahasa ini hingga kini tetap membawa marga keluarga Minahasanya namun mereka muslim seperti sebagian keluara Karinda, keluarga Tombokan, keluarga Rumbayan.

Kyai Modjo telah membuktikan beliau bukan hanya sekedar ulama fikih saja tetapi lebih dari itu beliau seorang ahli strategi dan pemimpin yang tangguh.

 

Tidak ada komentar: