Senin, 20 Maret 2023

XXIV. KYAI MODJO DAN ROMBONGAN DITAHAN DI BATAVIA SELAMA SEKITAR SATU TAHUN

Kyai Modjo dan pengikutnya ditahan di Batavia selama sekitar 12 bulan, dari Desember 1928 sampai akhir November 1929. Sesuai dengan kesepakatan semua pihak maka tawanan ini diperlakukan dengan baik serta diperhatikan kebutuhan sehari-harinya. Hal ini perlu karena Kyai Modjo masih mempunyai pengaruh yang kuat. Karena dianggap berbahaya oleh Belanda maka sewaktu berada di Batavia tidak ditempatkan digedung penjara menyatu dengan tahanan biasa tapi ditempatkan di “kantor baru” sebagai tahanan rumah. Rumah ini dibangun memang khusus untuk menempatkan tahanan politik yang sangat istimewa itu, menunggu ke tempat pembuangan terakhir di Manado.  Dengan penempatan tahanan politik di “kantor baru” ini memudahkan penjagaan maupun pemberian layanan, kebutuhan sehari-hari.

Sebagai tahanan perang (tahanan politik), semua kebutuhan hidup sehari-hari Kyai Modjo dan pengikut ditanggung oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pemasok kebutuhan sehari-hari ini adalah Kapten China bernama Jap Soanko.  Surat dari hakim Batavia No.15/10 tanggal 2 Januari 1829, biaya transportasi rombongan Kyai Modjo dari Semarang ke Batavia sebesar f 3051,15 gulden (f=gulden). Termasuk di dalamnya uang saku Kyai Modjo dan pengikutnya sebesar 312,5 gulden. (Note: sebagai perbandingan gaji seorang patih di Surakarta 1000 gulden/bulan, Scherer Savitri Prastiti, halaman 44).

Di Batavia, Belanda berhasil membujuk Kiay Modjo agar mau menulis surat kepada Pangeran Diponegoro untuk menghentikan perlawanannya yang masih berlangsung. Kyai Modjo bersedia menulis surat untuk Pangeran Diponegoro. Kyai Modjo mau menulis surat kepada pangeran Diponegoro untuk ikut berdamai karena dari pembicaraannya dengan Belanda sewaktu di Salatiga beberapa waktu yang lalu Belanda tetap tidak akan merestui bila tanah Jawa diserahkan ke Pangeran Diponegoro. Juga surat itu untuk mengingatkan bahwa tujuan Pangeran Diponegoro menjadi raja baru di tanah Jawa akan sia-sia. Cepat atau lambat Belanda akan berhasil menundukan perlawanan Pangeran Diponegoro.  Kyai Modjo yakin perlawanan Diponegoro akan mengalami kekalahan karena Kyai Modjo tau persis kuantitas dan kualitas pasukan Diponegoro paska ia tertangkap Belanda. Bagi kyai Modjo meskipun keinginannya tidak terpenuhi seluruhnya, dia sudah mendapat jaminan dari belanda bahwa Belanda tidak akan mencampuri urusan agama islam di tanah jawa.

Ada tiga orang yang diutus nenbawa surat untuk menemui Pageran Diponegoro yaitu Kyai Hasan Besari – kakak Kyai Modjo, Tumenggung Urawan dan Kyai Gozaly (Kyai Dadapan) - cucu Kyai Nur Iman Mlangi.  Dalam surat tersebut Kyai Modjo menuturkan bahwa ia tidak dapat membalas budi kebaikan Pangeran Diponegoro dan ia bersedia dikucilkan. Tapi apabila Pangeran Diponegoro yang merupakan guru (pimpinan)nya itu dan sebagai orang Jawa yang berkuasa tidak suka melakukan, maka iapun tidak memaksakan. Kyai Modjo menulis surat kepada pangeran Diponegoro itu dalam bahasa Arab. Dalam surat itu ia mengutip dari Alquran hubungan perdamaian yang diinginkannya. Tersebutlah tanpa menjanjikan dapat berhasil, maka 3 orang utusan itupun pergi membawa surat dari Kyai Modjo untuk Pangeran Diponegoro (Mirawati Ina, Residensi Yogyakarta no.18).

Tidak ada komentar: