Senin, 20 Maret 2023

XXII. KYAI MODJO TERTANGKAP, DIADILI DAN DIPUTUS SEBAGAI TAHANAN POLITIK

Informasi retaknya hubungan Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo sampailah ke pihak Belanda. Belanda yang semula sudah putus asa karena biaya perang yang terus membengkak yang nyaris membangkrutkan negara dan banyaknya tentara yang tewas, maka dengan retaknya hubungan Diponegoro dan Kyai Modjo ini telah memberi harapan besar kepada Belanda bahwa perlawanan Diponegoro telah melemah. Kondisi ini menguntungkan Belanda untuk menangkap Diponedoro dan Kyai Modjo dengan cara apapun, hidup atau mati. Prioritas pertama, Belanda fokus untuk melumpuhkan Kyai Modjo sebab kunci perang sabil ada di Kyai Modjo. Apabila Kyai Modjo dapat dilumpuhkan maka pengaruh jihad pada Perang Jawa otomatis berakhir.

Strategi mobilitas (militer) yang hanya fokus pada penangkapan pimpinan pemberontak (Diponegoro) ternyata gagal. De Kock mengubah strategi yaitu melalui siasat membujuk para pemimpin lawan dan perundingan. Para pemimpin lawan adalah sesuatu yang amat berharga bagi De Kock (Djamhari, 2004, halaman 82).

Belanda mencoba 2 skenario; pendekatan siasat dan penyelesaian tuntas yang mungkin tercapai lewat perundingan langsung dengan Kyai Modjo dan dengan mengeluarkan seruan muluk-muluk agar berhenti berperang atau menyerah. Kyai Modjo yang mewakili satu kekuatan Islam dibelakang Diponegoro telah menyebabkan Belanda tidak merestui suatu gagasan membagi Yogyakarta dan memberi Diponegoro wilayah kerajaan sendiri.

Belanda dua kali berupaya membujuk Kyai Modjo menghentikan perang melalui perundingan namun gagal. Belanda kemudian untuk ketiga kali membujuk Kyai Modjo mengadakan perundingan di Klaten dan Kyai Modjo menyetujui. Belanda telah bertekat akan menangkap Kyai Modjo dan pengikutnya bila pertemuan berhasil diadakan. Pertemuan di Klaten direncanakan diadakan pada tanggal 10 Nopember 1828. Pihak Belanda menyelundupkan beberapa orangnya kedalam pasukan Kyai Modjo, yang menyamar sebagai pengikut Kyai Modjo, tugas mereka memata-matai gerak-gerik Kyai Modjo dan melaporkan ke pihak Belanda.

Pada tanggal 10 November 1828 Kyai Modjo dan pengikutnya berangkat ke Mlangi dengan tujuan melakukan perundingan dengan Belanda. Kyai Modjo bersedia berunding dengan 2 (dua) syarat moderat yaitu pertama pulau jawa diserahkan kepada Pangeran Diponegoro dan kedua Belanda tidak mencampuri urusan agama Islam. Kyai Modjo juga mempertimbangkan permintaan Kyai Taptojani dari Mlangi agar berdamai dengan Belanda (Mirawati Ina, 2000, halaman 31).

Karena ada kesepakatan berunding maka Kyai Modjo dan pasukannya tidak membawa peralatan perang lengkap. Nyatanya, pasukan gerak-cepat Le Bron yang bersenjata lengkap sudah ditugaskan untuk memastikan agar Kyai Modjo dan pasukannya tidak bisa lolos. Karenanya, ketika perundingan gagal pada 10 November dan diketahui bahwa sang Kyai sedang berusaha menuju ke Pajang, ia dicegat di lereng-lereng Gunung Merapi dekat bekas perkebunan Baron P.M.M.C.C.Bouwens van der Boyen di Babadan. Diberi waktu 2 menit untuk memutuskan apakah menyerah tanpa syarat atau langsung bertempur dalam keadaan sulit (Le Bron sudah mengepung pasukan Kyai Modjo). Kyai Modjo memilih menyerah. Dalam keadaan itu pun sang Kyai tetap mempertahankan kesan bahwa ia bergabung dengan Belanda atas kemauan sendiri (Carey, Kuasa Ramalan, halaman 752).

Sejatinya Kyai Modjo tidak menyerah tetapi mengalah untuk menang. Seandainya pada saat penyergapan Kyai Modjo melakukan perlawanan maka sudah pasti Kyai Modjo dan semua pengikutnya akan mati sia-sia dan tidak akan pernah ada Kampung Jawa Tondano. Secara lahiriah, tertangkapnya Kyai Modjo tampak merugikan kaum Muslimin. Namun, di sisi lain, itu menunjukkan kearifan Kyai Modjo, bahkan mampu menarik simpati para pengikutnya. Para pengikut Kyai Modjo tidak merasa kalah tetapi sebaliknya mereka merasakan kemenangan. Mereka menerima dengan ikhlas bahwa keadaan mereka sekarang adalah suatu ketetapan dari Allah SWT. Kyai Modjo tertangkap oleh kelicikan Belanda dan bukan menyerah karena imbalan materi. Selanjutnya Kiay Modjo dan kerabat serta pengikutnya secara bertahap dibawa ke Klaten, Solo, Salatiga dan ditempatkan dalam tahanan sementara di Semarang.

Memasuki Klaten di bawah pengawalan Belanda pada 15 November pasukannya yang berkekuatan 400 orang dan masih bersenjata lengkap, menurut kesaksian Nahuys van Burgs, tampil seolah-olah merayakan kemenangan, dengan mulai memperdengarkan “lagu-lagu agama dari Alquran” sambil berbaris. Hanya dengan kesulitan besar dan setelah saling teriak dengan Nahuys, Kyai Modjo akhirnya merelakan pasukannya dilucuti sebagian (Carey, 2012, halaman 752).

Satu hari setelah Kyai Modjo ditangkap, pengadilan Belanda langsung melakukan pengadilan kilat untuk memutuskan status Kyai Modjo dan pengikutnya. Pada tanggal 16 Nopember 1828 Nuhuys van Burgs (resident Surakarta/Solo) menandatangani surat penetapan Kyai Modjo dan 72 orang pengikutnya sebagai tawanan dan untuk selanjutnya para tawanan akan dikirim ke Batavia. Dokumen aslinya tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda pada katalog Nuhuys van Burgst private collection, port 11, pt 11 (Babcock, 1989). Setelah penangkapan di Salatiga, Kyai Modjo dan pengikutnya kemudian dibawa ke tahanan Belanda di Semarang.

Tanggal 21 Nopember 1828 Letnan Gubernurnur Jenderal Hindia Belanda menerbitkan surat keputusan No.1 yang isinya sebagai berikut:

-       Kyai Modjo sebagai tawanan perang (tawanan politik) dan dibawa keluar dari Semarang ke Batavia menggunakan kapal perang Mercury.

-          Tawanan diawasi dengan baik dan diperhatikan kebutuhan makanannya.

-          Kyai Modjo harus mendapat pengawasan ketat karena ia mempunyai pengaruh besar.

Untuk keperluan pemindahan ke Batavia, pemerintah Hindia Belanda perlu membangun tambahan rumah tahanan terlebih dahulu di Batavia. Pada tanggal 26 Nopember 1828 Letnan Jenderal Hindia Belanda membuat Surat Keputusan menyetujui surat Insinyur bangunan sipil tanggal 25 Nopember 1828 No.384 tentang pembangunan gedung untuk para tawanan perang.

Tanggal 1 desember 1828 Menteri Negara Komisaris Jendral menyurat kepada Letnan Gubernur Jendral, yang isinya:

1.   Kyai Modjo dan pengikutnya  dipenjara dalam bentuk tahanan rumah.

2.   Membangun gedung baru sebagai ”rumah tahanan” untuk Kyai Modjo dan pengikutnya,

3.   Ir.Tromp ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan ”rumah tahanan” tersebut.

4.   Menyiapkan 25 orang sedadu Ambon secara bergantian menjaga rumah tersebut.

Tidak ada komentar: