Selasa, 21 Maret 2023

X. KYAI MODJO SEBELUM PERANG JAWA

 Sebelum Perang Jawa, Kyai Modjo hanyalah seorang kyai desa yang mendapat pelajaran dasar-dasar agama dari ayahnya, Kyai Iman Abdul Arif (Kyai Baderan) yang juga pemimpin Pesantren di Baderan Boyolali. Sejak remaja, Kyai Modjo telah berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Tegalsari Ponorogo, Jawa Timur. Selain berguru, Kyai Modjo juga belajar agama islam secara otodidak dari Alquran, hadits dan sunnah Nabi Muhammad saw.

Sepeninggal Kyai Baderan sekitar 1820, Pesantren Baderan dipimpin oleh seorang putranya bernama Wiropatih dan mengambil gelar sebagai Kyai Baderan II. Kelak Kyai Baderan II diasingkan ke Tondano bersama adiknya Kyai Modjo dan di Tondano Kyai Baderan II dikenal dengan nama Kyai Sepoh Baderan. Sebutan “sepoh” atau sepuh karena beliau adalah yang paling tua dari seluruh rombongan Kyai Modjo. Sedangkan Kyai Modjo sendiri mendirikan pesantren di dusun Modjo, tidak jauh dari desa Baderan. Kiprah Kyai Modjo selanjutnya adalah sebagai guru agama Islam dan memimpin sebuah pesantren di Modjo Surakarta. Modjo adalah nama sebuah daerah sekaligus pesantren di Pajang, Utara Delangu, sekarang masuk wilayah Sawit Kabupaten Boyolali (Heru Basuki, halaman 39).

Kecerdasan Kyai Modjo dalam memahami dan menjelaskan nilai-nilai ajaran islam telah mengundang banyak santri untuk belajar di pesantrennya.  Meski belum berhaji tetapi penguasaan yang sangat mendalam dalam memahami Alquran membuat Kyai Modjo sangat dihormati dan disegani diseantero jawa Tengah. Meskipun belum pernah naik haji, Kyai Modjo sangat berwibawa di kalangan santri karena pengetahuannya yang mendalam mengenai agama islam dan Al-quran.  Low dan De Clerk 1894-1909, V:742, dimana Diponegoro mengatakan Kyai Modjo yang tidak pernah naik haji, pengetahuannya mengenai Alquran dan aturan-aturan yang terkandung di dalamnya begitu sempurna sehingga santri yang sudah naik hajipun mengakui wibawanya (Carey, Kuasa Ramalan, halaman 109, note 90).

Kemasyuran nama Kyai Modjo telah sampai ke telinga Pangeran Diponegoro. Bahkan seorang putra Pangeran Diponegoro setelah lama berkelana mencari guru agama akhirnya menjatuhkan pilihan berguru ke Kyai Modjo. Putra sulung Diponegoro, Pangeran Diponegoro II, setelah lama berkelana memutuskan untuk berguru kepada seorang Kyai di Surakarta, Kyai Modjo, bukannya kepada seorang diantara para guru yang telah dikunjunginya di sekitar ibu kota kesultanan. Pangeran Diponegoro II kemudian memakai nama santri Raden Mantri Muhammad Ngarip dan agaknya yang paling cerdas di antara keturunan Diponegoro (Carey Kuasa Ramalan, halaman 109).

Selain sebagai tokoh Agama Islam, Kyai Modjo juga sejak muda sudah terkenal sebagai seorang ulama yang mobilitasnya sangat tinggi dan memiliki jaringan yang luas dan sudah tersohor di Jawa Tengah sebagai ulama muda pemberani yang mengusai ilmu agama islam serta berpengetahuan luas mengenai politik. Pada tahun 1811 Kyai Modjo dipercaya Raja Surakarta, Paku Buwono IV yang merupakan sahabat Kyai baderan I untuk menjadi utusan khusus Paku Buwono IV ke Raja Bali meminta agar Raja Bali melindungi rakyatnya yang beragama Islam. Sebelum Perang Jawa, Kyai Modjo pernah menjabat sebagai duta dalam surat-menyurat rahasia Pakubuwono IV dengan berbagai penguasa Nusantara timur (Bali, Sumbawa) selama 1811 – 1812, yang menyampaikan pesan kepada Raja Buleleng sehingga untuk itu ia dipenjarakan oleh Inggris untuk beberapa waktu di kepatihan (Carey, Kuasa Ramalan, halaman 750).

Tidak ada komentar: