Senin, 20 Maret 2023

XXI. RETAKNYA HUBUNGAN ANTARA KYAI MODJO DAN PANGERAN DIPONEGORO

 Jalannya perang menunjukan pasang surut antara menang dan kalah. Pertempuran demi pertempuran telah mengakibatkan banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Pada awal-awal peperangan banyak orang mengira bahwa perang itu hanyalah pemberontakan seorang pangeran sebagimana pernah terjadi pada waktu-waktu yang lalu. Ketika perang telah meluas bukan hanya di kota Yogyakarta tetapi juga ke seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur barulah semua orang sadar bahwa itu adalah perang sabil (jihad). Inilah yang membuat Belanda terheran-heran, mengapa pasukan Pangeran Diponegoro demikian banyak, kuat dan tidak ada habis habisnya. Sedang pasukan Belanda sudah habis habisan, termasuk kehabisan akal sehat.

Namun memasuki tahun ketiga peperangan tekanan kepada Kyai Modjo semakin besar akibat semakin banyak pasukan dibawah kendali Pangeran Diponegoro menyerah kepada Belanda dan banyak juga yang terlibat madat candu. Kekuatan Pangeran Diponegoro nyata telah merosot karena tentaranya sudah tidak lagi punya tenaga dan semangat tempur. Sebagian besar panglima tentaranya sekarang menyerahkan diri karena imbalan uang, jabatan atau karena putus asa.  Sungguhpun begitu merosotnya perlawanan pasukan poros Diponegoro ini tidak menggoyahkan semangat Kyai Modjo. Bahkan situasi rawan ini membuatnya makin berani dan mendorongnya akan memimpin sendiri pasukan menghadapi pasukan Belanda. Kalau tidak karena keangkuhan Diponegoro yang kemudian mencegah keinginannya itu tentu Kyai Modjo dan pasukannya sudah terjun sendiri.

Sekarang tekanan dari pihak Belanda semakin berat dirasakan pasukan Kyai Modjo. Kyai Modjo tidak mempunyai pilihan lain selain melipatgandakan kekuatan pertahanan dan daya tempur pasukannya. Tidaklah sulit bagi Kyai Modjo untuk menggelorakan semangat perang sabil di wilyah Pajang karena Kyai Modjo dan keluarganya banyak berasal dari sana. Namun di wilayah lain, di Jawa tengah dan Jawa Timur, wilayah dimana pengaruh Pangeran Diponegoro sangat besar, tidak mudah bagi Kyai Modjo untuk mengkoordinasikan dibanding di Pajang. Tetapi tentu saja jaringan luas Kyai Modjo dengan ulama dan pesantren di jawa dapat digunakan Kyai Modjo untuk lebih menggelorakan perang sabil.

Kyai Modjo memiliki hubungan yang luas dengan ulama-ulama di di Jawa khususnya ulama-ulama di Pesantren Mlangi Jawa Tengah dan ulama-ulama di Pesantren Tegalsari Ponorogo Jawa Timur. Kyai Modjo semasa remaja pernah mondok di Pesantren tegalsari Ponorogo. Tetapi apabila Kyai Modjo menggerakkan masyarakat dan ulama-ulama di seluruh Jawa tengah dan Jawa Timur berarti Kyai Modjo telah mengambil alih peran dan tugas Pangeran Diponegoro. Ini berarti harus ada perubahan dalam struktur komando dan kelak dalam pemerintahan Pangeran Diponegoro bukan penguasa mutlak lagi. Situasi sekarang tidak lagi seperti keadaan saat dimulainya peperangan. Ketidakmampuan Pangeran Diponegoro dalam membangkitkan semangat perlawanan dapat digunakan oleh Belanda untuk memukul balik dan menghancurkan perjuangan perlawanan khususnya perjuangan kaum ulama.

Dengan cerdas Kyai Modjo memandang kekuasaan harus dibagi. Ulama harus mengambil bagian dari kekuasaan, tidak hanya sebagai penasehat agama saja. Boleh jadi pada masa itu Kyai Modjo telah membaca Trias Politica karya Montesquieu, pemikir Prancis yang hidup pada tahun 1689 – 1755. Saat ini Trias Politika yang saat ini dipraktekan oleh semua negara modern adalah pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga: eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang). Kyai Modjo berpikir masalah besar ini harus segera dibicarakan dengan Pangeran Diponegoro.

Maka pada satu hari di pertengahan tahun 1828, Kyai Modjo menemui Pangeran Diponegoro membicarakan situasi terakhir keadaan pasukan perlawanan. Kyai Modjo menyampaikan kesanggupannya menaikkan semangat perlawanan para tentara dan tetap mendampingi Pangeran Diponegoro dengan satu syarat bahwa setelah perang selesai dengan kemenangan, Pangeran Diponegoro bersedia membagi kekuasaan dengan Kyai Modjo. Kyai Modjo meminta agar Pangeran Diponegoro mempertimbangkan pembagian kekuasaannya dalam empat macam; kekuasaan ratu (raja), wali (penyebar agama), pandita (cendekia di bidang hukum), dan mukmin (yang percaya). Kyai Mojo menyarankan agar Diponegoro memilih buat dirinya satu di antara empat kekuasaan tersebut, yang berarti jika ia memilih kekuasaan ratu, maka kyai Modjo akan mengambil kekuasaan wali dan akan menikmati kekuasaan agama secara mutlak. Saran ini ditolak oleh Diponegoro dengan mengatakan bahwa Kyai Modjo – yang ia sapa “paman” sehingga berarti mengakui kedudukannya sebagai Kyai senior kendati usianya tujuh tahun lebih muda (?) – jelas ingin berkuasa. Kemudian Pangeran Diponegoro mengusulkan agar Kyai Modjo mengambil alih saja kedudukan sebagai penghulu dari pejabat yang pertama ia angkat, haji Imamroji (menjabat 1825 – 1828), ia memakai teladan Sunan kudus di awal abad keenam belas, seorang wali yang dinyatakan oleh Diponegoro berfungsi lebih sebagai penghulu bagi sultan Demak, dan yang dalam pikiran Pangeran itu cocok untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan keduniawian raja-raja Demak terbuka. Kali ini Kyai Modjo menolak dengan mengatakan bahwa ia tidak berasal dari keluarga penghulu. Karena itu dia tidak mungkin bisa menginginkan kedudukan seperti itu. Sebagai gantinya, ia ingin diakui sebagai imam atau kepala kelompok masyarakat Islam seluruhnya. Tuntutan ini ditolak oleh Diponegoro, dengan menegaskan bahwa keputusan tentang pembagian kekuasaan dalam pemerintahan kerajaannya palsu belaka karena Allah telah memilih dia dan hanya dirinya sebagai khalifah Nabi Allah dalam perang suci antara orang Islam dan orang laknat di Jawa, dan hanya Yang Mahakuasa yang tahu kapan amanat itu akan ditarik terbuka (Carey, 2012, halaman 748-749).

Itulah keputusan Pangeran Diponegoro dan menjadi antiklimaks dari hubungannya dengan Kyai Modjo. Perselisihan Pangeran Diponegoro dengan Kyai Modjo tidak bisa terhindarkan. Perselisihan besar tentang hakikat kekuasaan politik antara Diponegoro dan Kyai Modjo. Kyai Modjo akhirnya menangkap tujuan perang Diponegoro. Seperti yang dikatakan oleh Kyai modjo sendiri kepada pihak Belanda yang menangkapnya :

Usul pertama yang membuat saya rela berperang adalah bahwa Diponegoro berjanji kepada saya untuk memulihkan agama kami. Karena percaya hal ini, saya bergabung dengan dia sepenuh hati, tapi kemudian saya mengetahui hal itu bukan tujuannya yang sejati karena ia dengan tergesa mulai membentuk dan menata suatu keraton. Saya menyampaikan beberapa pernyataan kepadanya yang ditanggapi dengan begitu keliru sehingga kami bertengkar sengit. Sejak itu saya berselisih dengan Diponegoro, yang menyebabkan dia memerintahkan saya mengakhiri perang dengan cara apapun. (CareyKuasa Ramalan, halaman 746).

Setelah pertemuan terakhir tersebut segera tampak bahwa berbagai hubungan antar pendukung Pangeran dari poros Mataram dan dari kalangan santri telah patah arang. Perselisihan ini tampak makin luas pada Agustus 1827 saat perundingan damai diusahakan oleh kapten William Stavers dan Kyai Modjo (Carey, 2012, halaman 748). Belanda yang semula tidak punya harapan untuk memenangkan perang, akhirnya menemukan harapan besar memenangkan perang setelah muncul pertengkaran antara Kyai Modjo dan Diponegoro.

Tidak ada komentar: