Selasa, 21 Maret 2023

XIX. MELEMAHNYA PERLAWANAN PASUKAN POROS MATARAM (POROS DIPONEGORO)

Kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Belanda membuat Belanda frustrasi. Berbagai cara teknik bertempur telah dilakukan Belanda untuk melumpuhkan perlawanan Pangeran Diponegoro – Kyai Modjo namun tidak berhasil. Belanda melihat seperti ada kekuatan batin luar biasa dalam diri tentara-tentara Diponegoro - Kyai Modjo, mereka dengan senjata sederhana dan terbatas maju berperang dengan keberanian dan siap mati. Itulah jihad fisabilillah.

Setelah mempelajari kekuatan mendasar pasukan Diponegoro – Kyai Modjo, Belanda kemudian membuat strategi melumpuhkan sumber kekuatan lawan dengan tiga strategi yaitu pertama Belanda membuat pasukan Diponegoro menjadi madat candu.  Kedua, Belanda menyelundupkan ulama dan pangeran pro Belandan ke pasukan Diponegoro untuk membujuk ulama dan pangeran pemberontak menyerah dengan imbalan uang dan jabatan. Dan ketiga, Belanda merencanakan menangkap hidup-hidup para pemimpin Perang jawa dengan motif perundingan.

Dalam Perang Jawa, ternyata juga madat candu telah menjadi konsumsi tentara dalam komando Sentot Prowirodirdjo dan Pangeran Diponegoro. Tentang madat, yang dalam pemerintahan Raden Adipati Danurejo (1813-1847) makin luas digunakan di berbagai kalangan Keraton Yogya dan kemudian dipasok oleh orang-orang Tionghoa untuk para pengikut Diponegoro selama perang Jawa (Carey, Kuasa Ramalan, halaman 145).

Akibat madat candu, kelak dalam memasuki tahun-tahun menentukan dalam perang Jawa, tentara poros Mataram justru menjadi semakin loyo dan kurang bersemangat ikut berperang. Kelak dalam peperangan selanjutnya beban Kyai Modjo menjadi semakin berat.

Mengenai keadaan markas besar Diponegoro di Selarong pada masa awal perang, “para pangeran biasanya tidur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi dan beberapa diantara mereka menjadi budak madat” (Carey, 2012, Kuasa ramalan, halaman 145, footnote no.89).

Selama Perang Jawa, ada laporan bahwa banyak prajurit Diponegoro “jatuh sakit” karena ketagihan madat, dan pengecer Tionghoa meraup laba di belakang garis pertahanan Pangeran. Sejumlah pangeran dan pejabat tinggi Yogya juga menjadi penikmat pipa madat, dan ketagihan golongan Pangeran itu terlihat di kalangan pengikut Diponegoro di markas besarnya di Selarong pada akhir Juli dan awal Agustus 1825 (Carey, Kuasa ramalan, halaman 563).

Merosotnya moral pasukan Mataram berakibat pada munculnya ketegangan dan saling menyalahkan antara pasukan poros Mataram yang berada dalam kendali Diponegoro dan pasukan poros Pajang yang dalam kendali Kyai Modjo. Kelak dalam peperangan keadaan makin ruwet tatkala Diponegoro tidak kunjung juga menertibkan para pangeran dan komandan-komandan dalam kendalinya. Pasukan Pangeran Diponegoro telah kehilangan kekuatan karena dalam tahap-tahap perang yang menentukan banyak tentaranya sudah tidak lagi punya tenaga dan semangat tempur. Sebagian besar panglima tentaranya sekarang menyerahkan diri karena nafsu pribadi, putus asa atau karena kelelahan. Semangat pasukan perang Diponegoro telah hilang, hanya pasukan Kyai Modjo sendiri yang masih tegar. 

Tidak ada komentar: