Selasa, 21 Maret 2023

XVIII. SYARAT DIAJUKAN KYAI MODJO - DIPONEGORO BERHENTI BERPERANG

 Pada tanggal 27 September 1827, de Kock mengutus William Stavers dan seorang Arab, Ali Chalif, untuk menemui Kyai Modjo di desa Cirian. Kedua utusan ditugasi menjajagi pendapat dan kemauan Kyai Modjo serta Diponegoro, sebagai ikhtiar untuk menghentikan peperangan. Dalam pertemuan di desa Cirian, Kyai Modjo didampingi oleh Pangeran Ngabehi dan Pangeran Ngabdul Majid. Mereka berangkat dari markas Diponegoro di Joholanang dengan pengawalan 1000 orang prajurit. Kyai Modjo menyampaikan pesan dan syarat yang diberikan Diponegoro untuk menghentikan peperangan. Syarat pertama, semua orang Belanda harus memeluk agama Islam; kedua, wilayah pasisir kembali di bawah Sultan; ketiga, Belanda boleh tetap tinggal di Jawa, tetapi tidak melakukan aktivitas perdagangan. Dalam pertemuan tersebut, Stavers menyatakan bahwa ia tidak memiliki wewenang apapun. Ia hanya diutus untuk menyampaikan pesan bahwa Diponegoro dapat memilih tanah-tanah dimana saja yang diinginkannya dan jawabannya harap disampaikan kepadanya. Pada pertemuan itu Stavers juga menyampaikan surat, sahabat Kyai Modjo, Pangeran Purboyo, yang isinya menyarankan Kyai Modjo agar menghentikan peperangan. Kyai Modjo menjawab surat itu dengan singkat “tujuan berperang tidak lain untuk memuliakan agama islam. Stavers menangkap pesan tersebut sebagai penolakan terhadap prakarsa perundingan. Stavers tetap melakukan korespondensi dengan de Kock dan Komisaris Jenderal Du Bus. Ia melaporkan bahwa Diponegoro tetap berkeinginan menjadi Raja Islam dan telah mendapat persetujuan para ulama, famili dan rakyat. Perang semata-mata untuk mensucikan agama Islam di Jawa (Djamhari 2004, hlm 101-102).

Tiga kali telah diadakan perundingan antara pihak Belanda dan pihak Diponegoro namun gagal mencapai kesepakatan. Tuntutan Diponegoro melalui Kyai Modjo tidak dapat dipenuhi oleh pihak Belanda. Sebenarnya Belanda bersedia mempertimbangkan tuntutan Diponegoro menjadi raja baru Jawa, namun tuntutan untuk menjadi raja islam yang menjadikan hukum islam sebagai hukum negara tidak dapat dipenuhi Belanda. Bagi Belanda tuntutan Diponegoro lebih dipengaruhi oleh Kyai Modjo yang menginginkan kekuasaan islam di tanah jawa ketimbang sebagai raja semata. Nampak pengaruh Kyai Modjo sangat kental dalam tuntutan Diponegoro tersebut. Dilain pihak dengan menyetujui menerapkan syariat islam dalam pemerintahan akan mengancam program kristenisasi (gospel) eropa di jawa.

Belanda berkesimpulan tidak perlu lagi ada perundingan lanjutan. Namun meneruskan perang adalah pilihan buruk bagi Belanda karena akan menguras kas negara dan korban jiwa tentara Belanda. Akhirnya Belanda mendapatkan satu skenario memenangkan perang dengan resiko rendah dan biaya rendah. Skenario tersebut adalah mengadakan perundingan bohong-bohongan dengan pihak Diponegoro lalu menangkap mereka. Tentara Belanda dengan persenjataan lengkap dipersiapkan untuk melucuti untuk melucuti para pengawal Petinggi perang jawa yang biasanya datang dalam perundingan hanya membawa senjata sederhana saja.

Tidak ada komentar: