Selasa, 21 Maret 2023

XIV. KEADAAN KRATON JAWA MENJELANG PERANG JAWA

 Di Jawa terdapat tiga Kraton yaitu Kraton Yogyakarta (rajanya bergelar Hamengku Buwono), Kraton Surakarta (raja bergelar Paku Buwono) dan Kraton Mangkunegara (raja bergelar Mangkunegara). Tiga kraton tersebut adalah pecahan dari Kesultanan Mataram Islam dengan raja terakhir Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi yang memerintah pada 1719 – 1726.

Kraton Yogyakarta. Lima tahun sebelum perang, kraton Yogyakarta sudah sarat dengan intrik-intrik perebutan kekuasaan. Sultan HB IV yang naik tahta pada tahun 1814 dalam usia 10 tahun tetapi baru resmi memerintah pada tahun 1820 tiba-tiba meninggal pada tahun 1823 dalam usia 19 tahun telah membuat geger istana. Untuk mengatasi kekosongan Belanda buru-buru mengangkat putra mahkota Pangeran Menol yang masih berusia 2 tahun (lahir 24 Januari 1820) sebagai HB V. Karena masih kecil maka kepimpinannya dilakukan dengan perwalian, pemerintahan sehari-hari dipegang Patih Danurejo dan Residen Belanda. Diponegoro menjadi salah satu anggota wali. Cara perwalian dimana ada wali dari pemerintah kolonial Belanda inilah yang tidak disetujui Diponegoro.

Kenyataan sekarang kerajaan diperintah oleh HB V, seorang yang masih kanak-kanak berusia 2 tahun menambah parah kemerosotan moral di kraton. Dapat dikatakan Hamengku Buwono V adalah cucu Pangeran Diponegoro. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Pangeran Diponegoro jika menghadap Hamengku Buwono V yang adalah cucunya harus dengan membungkuk. Kondisi bertambah parah dengan tingkah laku pejabat Belanda melakukan penindasan kepada rakyat khususnya perempuan pribumi dan semakin lazim terjadi.

Dalam tahun-tahun menjelang pecahnya Perang Jawa tidak ada lagi rasa hormat. Hubungan antara orang Eropa dan orang Jawa sekarang merupakan suatu penindasan: penjarahan harta kekayaan dan naskah-naskah keraton sekarang mempunyai tambahan berupa penjarahan tubuh-tubuh para raden ayu (putri-putri keraton) - (Carey, Kuasa Ramalan, halaman 517).

Kraton Mangkunegaran. Menjelang Perang Jawa, penguasa Mangkunegaran adalah RM Sulomo (lahir 1768) bergelar Mangunegara II (berkuasa 1796 – 1836). Mangkunegara II adalah cucu Mangkunegara I. Mangkunegara II berkuasa sangat lama yaitu sekitar 40 tahun, sama seperti kakeknya Mangkunegara I (berkuasa 1757 – 1795). Tetapi tidak seperti kakeknya, Mangkunegoro I atau Pangeran Samber Nyowo yang anti Belanda, Mangkunegoro II sangat pro Belanda.

Kraton Surakarta. Di kraton Surakarta yang berkuasa adalah Sunan Paku Buwono VI (berkuasa 1823 – 1830). Dari tiga Kraton di Jawa, Kraton Surakarta relatif berada di pihak Pangeran Diponegoro. Sikap Kraton Surakarta ini tidak mengherankan sebab sejak dulu kakek Paku Buwono VI yaitu Paku Buwono IV sangat dekat dengan ulama, khususnya Kyai Baderan.

Dan hubungan yang erat inilah yang mendorong Kyai Modjo pada akhir 1826 meyakinkan Pangeran Diponegoro menyerang Surakarta untuk membantu Paku Buwono VI membebaskan Kraton Surakarta dari cengkeraman Belanda.  Pangeran Diponegoro menyetujui menyerang Surakarta karena dalam kontak rahasia dengan Paku Buwono VI menunjukkan bahwa Paku Buwono VI mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro (Headly, halaman 206).

Namun meskipun Paku Buwono VI berpihak ke perjuangan Pangeran Diponegoro tetapi ia tidak mengungkapkan secara terbuka. Nampaknya Paku Buwono VI bermain ganda (bermuka dua) kendati risikonya sangat besar jika sampai ketahuan.

Maka tersebutlah pada perengahan bulan Oktober 1826 pasukan Pangeran Diponegoro berkekuatan 5000 prajurit mulai menyerang Surakarta. Namun tidak disangka oleh Pangeran Diponegoro ataupun Kyai Modjo, ternyata pasukan pangeran Diponegoro mengalami perlawanan luar biasa dari pihak Kraton Surakarta yang dibantu Belanda. Tidak ada tanda-tanda bahwa pihak Paku Buwono VI terjun bertempur untuk Pangeran Diponegoro. Ternyata Paku Buwono VI lebih takut kepada Belanda ketimbang janjinya untuk membantu perjuangan Pangeran Diponegoro.

Akhirnya pertempuran di Surakarta tersebut dimenangkan pihak Kraton Surakarta. Pihak Pangeran Diponegoro menderita kekalahan besar di Gawok, tepat di sebelah barat kota Surakarta. Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo sangat kecewa dengan sikap Paku Buwono VI yang telah berperan sebagai musuh daripada sahabat. Saling menyalahkan yang sengit terjadi diantara pendukung Pangeran Diponegoro dari kalangan keraton dan pendukung Kyai Modjo yang santri, saling tuding sebagai penyebab kekalahan tersebut. Saling menyalahkan merembet hingga ke dua pucuk pimpinan; Pangeran Diponegoro dan kyai Modjo. Pangeran Diponegoro menyalahkan kyai Modjo karena hanya sedikit pihak Kraton Surakarta yang ikut bertempur untuk Pangeran Diponegoro. Kekalahan di Gawok Surakarta ini menjadi titik kulminasi hubungan antara Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo, setelah serangkaian kemenangan gemilang pasukan Pangeran Diponegoro – Kyai Modjo. Saling menyalahkan ini terus berlanjut yang mengakibatkan melemahnya koordinasi dalam pasukan perlawanan dan berujung pada retaknya hubungan erat antara Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo. Seharusnya Pangeran Diponegoro tidak perlu menyalahkan Kyai Modjo sebab Pangeran Diponegoro sendiri telah mendapat jaminan dari Paku Buwono VI pada pertemuan menjelang meletus perang. Pertemuan Paku Buwono VI tahun 1824 dengan Pangeran Diponegoro dan Radèn Ayu Sumirah untuk memberikan mereka pusaka Surakarta dengan Kyai Maja sebagai saksi, baru terungkap pada akhir 1970-an tepatnya dekade yang sama ketika Kyai Muhammad Badruddin Hongowongso mendirikan pesantren di Kaliasa Jetis Karangpung (Headly, halaman 206). Mengenai Kyai Muhammad Badrudin Honggowongso silahkan baca di 2.1.3 (Pesantren Baderan Paska Perang Jawa)

Kelak menjelang berakhir Perang Jawa, pihak Belanda berhasil membongkar peran ganda Paku Buwono VI. Belanda kemudian menangkap Pakubuwono VI dan mengasingkannya ke Ambon, Maluku, sebagai orang buangan, pada 8 Juni 1830. Paku Buwono VI berada di Ambon hingga meninggal disana pada 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, Pakubuwono VI tewas dalam kecelakaan di laut. Penjelasan versi Belanda ini diterima selama bertahun-tahun dan jasad Pakubuwono VI dimakamkan di Ambon. Kejanggalan atas penyebab kematian Pakubuwono VI baru terungkap ketika kuburannya dibongkar untuk dipindahkan ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta, pada 1957. Ditemukan, ada lubang di dahi tengkorak Pakubuwono VI, seukuran peluru senapan. Temuan mengejutkan itu tak pelak mengarah kepada dugaan kuat bahwa Pakubuwono VI meninggal dunia bukan karena kecelakaan, tapi lantaran luka tembak. Kemungkinan PB VI dibunuh atau bunuh diri.

Beberapa tahun berselang setelah pemindahan makam dari Ambon ke Imogiri, Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia menetapkan Susuhunan Pakubuwono VI sebagai pahlawan nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.294 Tahun 1962 tanggal 17 November 1964.

Dari aspek moral, keadaan kraton jawa sudah sangat merosot menjelang perang. Babad jatuhnya Yogyakarta memuat tulisan menarik atas adegan sekitar ranjang si sakit (Sultan ketiga) di wisma khusus sultan di keraton, dimana para dukun (ahli pengobatan tradisional) dipanggil untuk memberikan pengobatan sementara mantra-mantra penyembuhan dirapalkan susul menyusul dan sejumlah pangeran sepuh berzikir. Yang menarik, penulis babad ini mencatat bahwa Diponegoro memperhatikan dengan sikap kurang suka upacara penyucian khusus yang dilakukan oleh saudara kakeknya, Pangeran Demang, atas tubuh sultan yang sedang sekarat itu. Dalam upacara tersebut pusar Sultan disingkap dan dijilati guna memudahkan keluarnya daya hidup, sementara mantra-mantra gaib diucapkan. Pada saat itu Diponegoro tampaknya maju dengan sikap tegas untuk menutupkan selimut di tubuh ayahnya dan memaksa saudara kakeknya yang terkena rasa malu itu menghetikan upacaranya. Inilah adegan singkat yang sarat makna, yang menunjukkan bahwa walaupun dalam banyak hal khas seorang penganut paham kebatinan Islam-Jawa, Diponegoro tidak setuju dengan beberapa segi yang lebih bersifat rahasia pada kebiasaaan kebatinan yang gaib masa lalu. Sementara itu, Residen Inggris, Kapten R.C. Garnham, dan dokter keresidenan Dr Harvey Thomson (1790 – 1837), dibangunkan dari tidur mereka dan dilarikan ke keraton untuk memberi bantuan. Namun semua itu tidak berhasil. Pada pukul enam pagi 3 November setelah berkuasa hanya selama 865 hari, Sultan ketiga pun wafat (Carey, Kuasa Ramalan, halaman 474).

Akar kemerosotan moral kesultanan ke titik nadir – yang oleh Van Hogendorp kemudian ditunjukkan dalam rujukannya yang sangat bermakna pada perubahan Keraton Yogya menjadi rumah bordil – dapat dirunut hingga ke masa itu. Demikian juga halnya dengan keyakinan kuat Diponegoro bahwa Yogya perlu ditaklukkan dan kekuasaan para raja Jawa yang murtad dilucuti bersama dengan para majikan Eropa mereka yang kafir agar suatu tata moral baru bisa ditegakkan berdasarkan patokan-patokan nilai Islam dan Jawa tradisional (Carey,Kuasa Ramalan, halaman 483).

Pacar-pacar yang Indo dan main api dengan istri-istri para pejabat rendahan adalah satu hal, sedang menggoda dan merampas ibu anak-anak ningrat Jawa merupakan hal lain sama sekali. Namun hal ini tampaknya semakin lazim terjadi di kalangan pejabat Belanda di Jawa tengah pada tahun-tahun menjelang pecahnya perang Jawa. Dengan kata lain Van Hogendorp, “kebencian dan penghinaan” yang dirasakan oleh masyarakat Jawa terhadap orang Eropa dalam tahun-tahun tersebut “pastilah diperparah dengan apa yang seenaknya dilakukan oleh para pejabat tinggi dan rendahan terhadap perempuan pribumi: sejumlah residen yang saya tahu nama mereka memaksa para pembesar Jawa yang berada di bawah kekuasaan para residen itu untuk menyerahkan istri-istri (dan anak-anak perempuan) mereka yang sah kepada para residen” (Carey, Kuasa Ramalan, halaman 515).

Tidak ada komentar: