Senin, 20 Maret 2023

XXIX. KYAI MODJO DI TONDANO: BERJUANG TANPA HENTI HINGGA WAFAT

Sangat mengagumkan ternyata perjuangan Kyai Modjo tidak terhenti di tempat pengasingan di Tondano. Beliau masih terus berjuang, bukan dengan senjata, tetapi berjuang dan mengobarkan semangat membangun kehidupan baru di tempat baru yaitu Tondano. Kyai Modjo memimpin transformasi pembaharuan dari mental berperang bersenjata menjadi semangat berperang membangun penghidupan baru dan kelangsungan beragama islam di Tondano. Berjuang ditempat yang baru bersama-sama dengan para pengikutnya.

Kepemimpinan Kyai Modjo selama 19 tahun (1830 – 1849) di Tondano sebagai sebagai pemimpin dan kepala “orang buangan” di Kampung Jawa Tondano, dengan prestasi yang telah dicapainya memang terasa unik, jika kita baca langkah demi langkah perjalanan hidupnya itu, dan cukup mengesankan Kyai Modjo sebagai pemimpin tidak sekadar pemipin untuk orang jawa pengikutnya saja tetapi pemimpin dan tauladan orang Tondano, lebih-lebih dia sebagai pemimpin umat. Ia sangat dekat dengan rakyatnya, ia menempatkan diri sebagai salah seorang dari mereka, dan sangat prihatin terhadap kehidupan pribadi mereka. Peranannya dalam masyarakat arafuru sebelum sebelum orang Tondano mengenal agama islam dan agama kristen, kepribadiannya sebagai kyai dan ulama. Sebagai pemimpin dan sahabat dari para walak (pemimpin) tondano dan tonsea, pergaulannya dengan pemerintah Hindia Belanda di Tondano, sampai peranannya sebagai kepala komunitas Kampung Jaton, wataknya yang keras dan yang lembut, dengan segala tanggung jawab dan kesederhanaan hidup pribadi dan keluarganya, merupakan teladan yang sukar dicari tolok bandingnya dalam sejarah. Sudah seharusnya kita menempatkan diri lebih akrab dengan biografi tokoh besar Kyai Modjo dalam sejarah. Keikhlasan Kyai Modjo menerima takdir diasingkan ke Tondano dan integritasnya mengabdi kepada Islam dan kepada umat, pribadinya yang sering disebut-sebut sebagai teladan karena ketegasannya, keadilannya yang benar-benar dibuktikan dalam perbuatan.

Berikut adalah beberapa jasa dari pengabdian Kyai Modjo dalam membangun kehidupan baru yang moderat dan toleran di Tondano, sejak tiba di Tondano hingga wafat. Pengabdian Kyai Modjo berhasil meletakkan dasar-dasar keunggulan untuk kemenerusan generasi Kampung Jawa Tondano dalam semangat terus menjaga jiwa perjuangan, persatuan dan keguyuban.

1. Dalam bidang jihad fisabilillah, mengubah jihad militer menjadi jihad moral dan jihad bekerja. Pendeknya jihad dalam segala aspek kehidupan untuk membangun komunitas baru yang langgeng dan harmonis bersama komunitas sekitar.

2. Dalam bidang pendidikan agama islam, perjuangan beliau diawali dengan mendirikan sebuah mushola sederhana dengan dinding terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Selanjutnya mushola ini dipugar menjadi masjid permanen. Pemugaran dan perluasan masjid Kyai Modjo Tondano dilakukan berturut-turut tahun 1854, 1864, 1974, 1981 dan terakhir tahun 1994. Saat ini nama masjid ditambah awalan Alfalah sehingga menjadi Mesjid Alfalah Kyai Modjo Kampung Jawa Tondano. Meskipun pada awalnya keberadaan Kyai Modjo di Tondano bukan untuk dakwah menyebarkan Islam, tetapi keberadaan masjid Kyai Modjo initelah memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Minahasa dan Indonesia Timur timur. Dalam 50 tahun terakhir banyak orang-orang keturunan Kampung Jawa Tondano bermigrasi ke Halmahera, Papua Barat, Ternate dll telah ikut dalam semarak penyebaran islam di wilayah tersebut.

3. Dalam bidang sosial kemanusiaan, Kyai Modjo sebagai pionir peletak dasar-dasar toleransi di Tondano. Sikap untuk saling menghormati dan menghargai kelompok kepercayaan lain telah ditedani oleh Kyai Modjo baik saat masyarakat Tondano masih menganut faham animisme (arafuru) ataupun saat orang-orang Tondano telah beragama Kristen. Dengan kepemimpinan Kyai Modjo, para pengikutnya tetap berbuat baik dan berlaku adil kepada sesama. Bahkan terjadi kawin mawin antara pengikut-pengikut Kyai Modjo dengan wanita-wanita setempat. Hanya ada satu batasan dalam toleransi antar umat beragama, yaitu toleransi dalam masalah aqidah. Dalam hal ini Kyai Modjo berhasil menjaga akidah islam Kampung Jaton tanpa terpengaruh oleh agama lain. Sikap Kyai Modjo ini patut kita teladani demi menghindarkan terjadinya diskriminasi di tengah banyaknya kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat.

4. Dalam bidang pertanian dan mengolah lahan pertanian, Kyai Modjo bersama pengikutnya telah menggagas dan memberi contoh cara mengolah lahan dan cara bercocok tanam serta meminta Belanda mendatangkan beberapa bibit tanaman untuk dibudidayakan di Tondano seperti kacang merah, padi dan lain-lain. Termasuk disinai adalah Teknik membajak sawah menggunakan sapi dan roda sapi.

5. Dalam bidang ukhuwah (persaudaraan), Kyai Modjo telah mewujudkan persaudaraan antar pengikutnya maupun persaudaraan dengan pengikut Pangeran Diponegoro yang bergabung tahun 1839 serta dengan penduduk sekitar sehingga terjalin hubungan harmonis hingga saat ini, baik yang hidup di Kampung Jawa Tondano maupun yang hidup diluar Kampung Jaton. Ungkapan ‘Torang Samua Basudara” (kita semua bersaudara) yang popular saat ini telah diwujudkan oleh Kyai Modjo sejak 1830.

6. Dalam bidang ukuwah Islamiyah (persaudaraan islam), dengan semboyan “Weruh kawitan eleng pungkasan” yang artinya memahami permulaan (awal) dan sadar sampai akhir atau lebih khusus lagi memahami darimana kita manusia berasal dan tetap sadar diri akan tujuan akhir setelah mati, Kyai Modjo berhasil mewujudkan miniature ukuwah islamiayah di Kampung Jaton. Hubungan antar umat Islamdi terjalin dan terjaga keharmonisannya sejak 1830 hingga saat ini, baik yang berada di Kampung Jaton Tondano, Kampung Jaton Gorontalo maupun yang berada diluar dua kampung tersebut. Alquran dan Hadits menunjukkan bahwa Ukhuwah Islamiyah erat kaitannya dengan membangun silaturahmi. Sejak tahun 2012 ukuwah Islamiyah warga keturunan Kampung Jaton telah membentuk organisasi resmi bersifat nasional dengan nama Kerukunan Keluarga Jawa Tondano (KKJI). Pengurus KKJI dipilih 5 tahun sekali. Ketua KKJI periode pertama (2012 – 2017) adalah Bapak Ali Hardi Kyai Demak SH.

7.  Dalam bidang kebudayaan, Kyai Modjo telah meletakkan dasar yang kuat membangun akulturasi yang harmonis antara budaya jawa dan budaya Minahasa. Hal ini tercermin dari terserapnya bahasa Tondano dan budaya mapalus kedalam budaya Kampung Jaton. Dengan akulturasi harmonis ini tetap persatuan dan kesatuan warga kampung jaton dan warga Kampung sekitarnya hingga saat ini. Dalam konteks bernegara saat ini, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa merupakan kewajiban seluruh rakyat Indonesia karena negara ini tidak hanya terdiri atas satu golongan suku, ras, dan agama, tetapi banyak sekali golongan yang ada di tanah air kita tercinta.

Penutup

Sejak Perang Jawa dimulai pada Juli 1825, dibutuhkan tiga tahun lebih pertempuran sengit sebelum akhirnya  Kyai Modjo dapat ditundukkan dengan cara yang licik oleh Belanda pada November 1828. Selama itu, Belanda sulit sekali memahami Islam dan dahsyatnya efek perang sabil yang dikobarkan Kyai Modjo dalam Perang Jawa. Tanpa Kyai Modjo perlawanan Pangeran Diponegoro hanya mampu bertahan selama satu tahun. Pada September 1829 sudah menjadi bulan hitam bagi Pangeran Diponegoro karena begitu banyaknya panglima dan pendukungnya yang menyerah. Sentot Prawirodirdjo menyerah pada tanggal 28 September 1829. Dan akhirnya pada Februari 1830 tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Diponegoro untuk menyerah melalui suatu perundingan dengan Belanda. Namun tidak demikian bagi Belanda. Diponegoro harus ditangkap tanpa syarat. Dengan berpura-pura setuju berunding, Belanda mengundang Diponegoro untuk berunding pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan hari raya idul fitri. Dan pada hari yang telah ditentukan itu Pangeran Diponegoro ditangkap maka berakhirlah Perang Jawa.  

Setelah berakhir Perang jawa, para pemuka perang tidak akan pernah lagi bertemu. Kyai Modjo meninggal dalam usia 58 tahun di Tondano pada 20 Desember 1849. Sedangkan Sentot Prawirodirdjo dan Pangeran Diponegoro meninggal 6 tahun kemudian.  Sentot meninggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun di Bengkulu dan Pangeran Diponegoro meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 1855 di Makasar dalam usia 70 tahun.

Demikian para pemimpin Perang Jawa berlalu dari dunia ini, terpecah dalam kematian sebagaimana halnya ketika masih hidup, akibat pasang-surutnya perang dan perbedaan ambisi pribadi serta jati-diri sosial yang tak terdamaikan. Persekutuan kesatria dan santri telah mewarnai peperangan lima tahun itu dengan dukungan sosial yang luas dan unik, belum lagi semangat keagamaan. Namun persekutuan itu sangat goyah, hal yang oleh seorang pangeran sekaligus santri yang berwibawa seperti Diponegoro itu pun tidak bisa diatasi (Carey, 2012, halaman 754).

Tidak ada komentar: